Dalam konteks pendidikan, istilah
fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang
dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun
sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas
siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam
lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada
saat melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan
bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan
siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
Peran guru sebagai fasilitator
membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula
lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat
“top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung
bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang,
sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara,
siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti
instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”,
hubungan kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping
belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan.
Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator
seyogyanya guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam
pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
1. Siswa secara penuh dapat
mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
5. Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
5. Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
Di samping itu, guru seyogyanya
dapat memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang akan menentukan
keberhasilan belajar siswa, diantaranya:
1. Setiap siswa memiliki pengalaman
dan potensi belajar yang berbeda-beda.
2. Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
3. Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
4. Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.
5. Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
6. Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
7. Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment).
2. Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
3. Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
4. Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.
5. Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
6. Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
7. Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment).
Selain dapat memenuhi
prinsip-prinsip belajar dan memperhatikan karakteristik individual, juga guru
dapat memperhatikan asas-asas pembelajaran sebagai berikut:
1. Kemitraan, siswa tidak dianggap
sebagai bawahan melainkan diperlakukan sebagai mitra kerjanya
2. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
3. Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif.
4. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
5. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
6. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
7. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.
2. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
3. Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif.
4. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
5. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
6. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
7. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.
Pada bagian lain, Wina Senjaya
(2008) mengemukakan bahwa agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai
fasilitator, maka guru perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan
pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa
untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan
sumber dan media belajar yang cocok dan beragam dalam setiap kegiatan
pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar
bagi para siswanya.
Terkait dengan sikap dan perilaku
guru sebagai fasilitator, di bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan guru untuk dapat menjadi seorang fasilitator yang sukses:
1.
Mendengarkan dan tidak mendominasi.
Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai
fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya
pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi
sedikit.
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
Multi Peran dan Tugas Guru dalam Proses Pembelajaran
Tugas guru dalam
menjalankan profesi kependidikannya yang teramat luas, termasuk didalamnya
tugas guru sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Akan tetapi, muara
tugas utama kedua peran tersebut terjadi pada arena proses pembelajaran, yaitu
suatu upaya guru dalam menciptakan situasi interaksi pergaulan sosial dengan
merekayasa lingkungan yang kondusif bagi terjadinya perkembangan optimal
peserta didik. Upayanya itu adalah membuat sinergi semua unsur yang terlibat
bagi terciptanya lingkungan yang kondusif untuk terjadinya proses pembelajaran
pada peserta didik..
Guru memainkan multi
peran dalam proses pembelajaran yang diselenggarakan dengan tugas yang amat
bervariasi. Ia berperan sebagai manager, pemandu, organisator, koordinator,
komunikator, fasilitator, dan motivator proses pembelajaran ( Umar Tirtaraharja
dan La Sulo, 1994 : 262 ). Dengan versi yang agak berbeda Abin Syamsuddin (
1999 ) mengemukakan tujuh peran dan tugas guru dalam proses pembelajaran, yaitu
sebagai konservator, inovator, transmitor, transformator,
organizator, planner, dan evaluator. Jika berpegang pada kedua pendapat
tersebut, sedikitnya ada tiga belas tugas dan peran guru dalam proses
pembelajaran, yaitu sebagai konservator, inovator, transmitor, transformator,
perencana, manajer, pemandu, organizator, koordinator, komunikator,
fasilitator, motivator, dan penilai sistem pembelajaran.
Sebagai konservator
( pemelihara ), guru bertugas memelihara sistem nilai yang merupakan sumber
norma kedewasaan. Dalam sistem pembelajaran, guru merupakan figur bagi peserta
didik dalam memelihara didtem nilai. Dengan perannya sebagai konsevator, guru
sekaligus menjadi inovator ( pengembang ) sistem nilai ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikaji dalam sistem pembelajaran itu. Jadi, guru
bertugas bukan hanya memelihara sistem nilai tetapi juga mengembangkannya kapada
tataran yang lebih luas dan lebih maju.
Sebagai transmitor
( penerus ) sistem-sistem nilai, guru selayaknya meneruskan sistem-sistem nilai
tersebut kepada peserta didik. Dengan demikian, sistem nilai tersebut
dimungkinkan akan diwariskan kepada peserta didik sebagai generasi yang akan
melanjutkan sistem nilai tersebut. Kesinambungan sistem nilai itu merupakan
bagian dari pe;aksanaan sistem pendidikan.
Sebagai itransformator
( penerjemah ) sistem-sistem nilai, guru bertugas menerjemahkan
sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadi dan perilakunya.
Lewat proses interaksinya dengan peserta didik diharapkan pula sistem-sistem
nilai tersebut menjelma dalam pribadi peserta didik.
Sebagai planner
( perencana ) guru bertugas mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam
proses pembelajaran. Ia harus membuat renacana pembelajaran yang matang, yang
sekarang dikenal dengan sebutan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP ). Dalam
RPP ini guru merencanakan proses pembelajaran mulai dari merencanakan tujuan
pembelajaran, indikator, evaluasi dan lai-lain.
Sebagai manajer
proses pembelajaran, guru bertugas mengelola proses operasional
pembelajaran, mulai dari mempersiapkan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi proses pembelajaran. Di sini ditentukan siapa yang harus terlibat
dalam proses pembelajaran serta sejau mana tingkat keterlibatannya. Semua unsur
yang diperkirakan menunjang atau menghambat berhasinya proses pembelajaran
dikelola sesuai dengan kondisi obyektifnya masing-masing.
Sebagai pemandu ( director
), guru bertugas menunjukan arah dari tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
Kegiatan ini bukan saja memperjelas arah kegiatan belajar peserta didik, tetapi
juga menjadi motivator bagi mereka untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirancang, baik oleh guru maupun diranvang bersama peserta didik.
Sebagai organizator
( penyelenggara ), guru bertugas mengorganisasikan seluruh kegiatan
pembelajaran. Guru bertugas menciptakan situasi, memimpin, merancang,
menggerakan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana.
Ia bertindak sebagai narasumber ( resource person ) , konsultan,
pemimpin ( leader ) yang bijaksana dalam arti demokratis dan humanis
( manusiawi ) selama proses pembelajaran berlangsung. Tugasnya
yang berupaya menciptakan proses pembelajaran yang edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan
menugasinya ) maupun secara moral ( kepada peserta didik serta Tuhan yang
menciptakannya ).
Sebagai komunikator,
guru bertugas mengkomunikasikan peserta didik dengan berbagai sumber belajar.
Pekerjaannya, antara lain memberikan informasi tentang buku sumber yang
digunakan, tempat belajar yang kondusif, bahkan mungkin sampai menginformasikan
narasumber lain yang ditugasi jika diperlukan.
Sebagai fasilitator,
guru bertugas menyediakan kemudahan-kemudahan belajar bagi peserta didik,
seperti memberikan informasi tentang cara belajar yang efektif, menyediakan
buku sumber yang cocok, memberikan pengarahan dalam pemecahan masalah dan
pengembangan diri peserta didik, dan lain-lainnya.
Sebagai motivator,
guru bertugas memberikan dorongan belajar sehingga muncul hasrat yang tinggi
untuk belajar secara intrinsik. Dalam proses pembelajaran, dorongan yang
diberikan mungkin berupa penghargaan seperti pujian, bahkan seandainya
diperkirakan hasilnya akan positif hukuman pun dapat dilakukan dengan catatan
tidak memberikan hukuman fisik seperti menampar, menjemur, dan sebagainya.
Sebagai penilai
(evaluator ), guru bertugas mengidentifikasi, mengumpulkan, menganalisis,
menafsirkan data yang valid, reliabel, dan obyektif, dan akhirnya memberikan
pertimbangan (judgement ) atas tingkat keberhasilan pembelajaran
bedasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai program, proses, maupun
hasil (produk ). Evaluasi terhadap produk, selain berguna untuk bahan
pertimbangan dalam membuat keputusan, juga bermanfaat sebagai umpan balik ( feedback
) bagi proses masukan ( input ) serta tindak lanjutnya.
Guru sebagai Motivator dan Fasilitator
Dalam
meningkatkan motivasi belajar seorang anak, seorang guru atau tenaga pengajar
tidak hanya berfungsi memberikan informasi dan pengarah bagi seluruh aktivitas
siswa, tetapi juga berfungsi sebagai fasilitator dan motivator.
Guru sebagai fasilitator dan motivator harus dapat memfasilitasi kebutuhan para muridnya sekaligus memberikan dorongan pada siswa untuk mengembangkan inisiatif dan rasa ingin tahunya. Guru juga berada di belakang anak, membimbing anak untuk mencapai tujuan, keinginan, dan kebutuhannya. Guru membantu anak untuk belajar mandiri dalam menentukan tujuan sendiri dan memberikan umpan balik terhadap hasil karyanya sendiri.
Selain itu, guru harus dapat menerima gagasan dari semua siswa, memupuk siswa untuk dapat memberikan kritik secara konstruktif, menghindari pemberian hukuman atau celaan kepada ide-ide baru siswa, dan menerima perbedaan kemampuan dan karakteristik siswanya.
Guru sebagai fasilitator dan motivator harus dapat memfasilitasi kebutuhan para muridnya sekaligus memberikan dorongan pada siswa untuk mengembangkan inisiatif dan rasa ingin tahunya. Guru juga berada di belakang anak, membimbing anak untuk mencapai tujuan, keinginan, dan kebutuhannya. Guru membantu anak untuk belajar mandiri dalam menentukan tujuan sendiri dan memberikan umpan balik terhadap hasil karyanya sendiri.
Selain itu, guru harus dapat menerima gagasan dari semua siswa, memupuk siswa untuk dapat memberikan kritik secara konstruktif, menghindari pemberian hukuman atau celaan kepada ide-ide baru siswa, dan menerima perbedaan kemampuan dan karakteristik siswanya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh guru agar seorang
anak dapat termotivasi untuk belajar, berprestasi, serta mengembangkan konsep
diri yang positif adalah:
1. Pendidik harus dapat menerima setiap siswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
2. Dalam menyusun kegiatan belajar, pendidik harus memulai dengan menetapkan sasaran-sasaran yang mudah dicapai, sehingga siswa memperoleh pengalaman bahwa ia berhasil melakukan sesuatu. Selain itu, pendidik juga menjelaskan tujuan belajar kepada siswa.
3. Pendidik harus dapat memahami anak dan masalah yang dihadapinya.
4. Pendidik hendaknya sabar dan bertenggang rasa terhadap anak yang belum menunjukkan kemampuannya. Pendidik juga dihimbau untuk menyelidiki dan mencari tahu kesenangan dan bakat si anak. Selain itu, pendidik juga harus bersikap antusias terhadap apa yang dilakukan siswanya.
5. Pendidik memberikan penguatan yang bermakna pada anak seperti memberikan pujian, senyuman, penghargaan, hadiah, dll kepada anak ketika anak mencapai hasil-hasil yang positif. Hukuman bagi anak lebih baik dihindari.
6. Pendidik harus dapat membantu anak mengembangkan konsep diri dan gambar diri yang positif dengan memberikan kepercayaan pada siswa bahwa ia sebenarnya baik dan mampu melakukan sesuatu. Hal ini akan memotivasi anak untuk menimbulkan harga diri dan percaya pada diri sendiri.
7. Pendidik menyediakan metode belajar yang bervariasi, bimbingan kepada siswa-siswanya, serta lingkungan yang menunjang bagi proses belajar mengajar.
1. Pendidik harus dapat menerima setiap siswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
2. Dalam menyusun kegiatan belajar, pendidik harus memulai dengan menetapkan sasaran-sasaran yang mudah dicapai, sehingga siswa memperoleh pengalaman bahwa ia berhasil melakukan sesuatu. Selain itu, pendidik juga menjelaskan tujuan belajar kepada siswa.
3. Pendidik harus dapat memahami anak dan masalah yang dihadapinya.
4. Pendidik hendaknya sabar dan bertenggang rasa terhadap anak yang belum menunjukkan kemampuannya. Pendidik juga dihimbau untuk menyelidiki dan mencari tahu kesenangan dan bakat si anak. Selain itu, pendidik juga harus bersikap antusias terhadap apa yang dilakukan siswanya.
5. Pendidik memberikan penguatan yang bermakna pada anak seperti memberikan pujian, senyuman, penghargaan, hadiah, dll kepada anak ketika anak mencapai hasil-hasil yang positif. Hukuman bagi anak lebih baik dihindari.
6. Pendidik harus dapat membantu anak mengembangkan konsep diri dan gambar diri yang positif dengan memberikan kepercayaan pada siswa bahwa ia sebenarnya baik dan mampu melakukan sesuatu. Hal ini akan memotivasi anak untuk menimbulkan harga diri dan percaya pada diri sendiri.
7. Pendidik menyediakan metode belajar yang bervariasi, bimbingan kepada siswa-siswanya, serta lingkungan yang menunjang bagi proses belajar mengajar.
Sumber:
Munandar, S. C. U. (1999). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta: PT. Gramedia.
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology
Munandar, S. C. U. (1999). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta: PT. Gramedia.
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology
GURU SEBAGAI FASILITATOR
Oleh: Nicolas Sularno,S.Ag
Dalam konteks pendidikan, istilah
fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa
(andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan
dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa,
belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam
lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada
saat melaksanakan interaksi belajar mengajar.
Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa
sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa
dalam kegiatan proses pembelajaran.
Peran guru sebagai fasilitator membawa
konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih
bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat
“top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung
bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang,
sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara,
siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti
instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”,
hubungan kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping
belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan.
Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator
seyogyanya guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam
pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
- Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
- Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
- Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
- Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
- Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
Peserta didik saat ini berada pada
dunia yang sangat kompleks dengan berbagai sumber belajar yang dapat diakses.
Demikian juga Guru berada pada Era kebebasan akademik yang dilindungi oleh UU
Siskdiknas 2003. Guru tidak bisa lagi menjadi sumber data dan fakta dalam
hal belajar. Internet dengan mesin pencari informasi dapat dijadikan sebagai
sumber belajar yang super cepat, menyediakan kamus dari berbagai bahasa,
sebagai ensiklopedia berbagai disiplin ilmu, sebagai penuntun praktikum sampai
pada cara membuata makanan dan meracik minuman, semuanya ada di internet. Guru
diharapkan kreatif dan inovatif untuk menjawab kriteria sebagai guru masadepan
untuk anak-anak bangsa.
Guru Sebagai Fasilitator, guru
hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegitan
belajar anak didik, memberi petunjuk cara mendapatkan fakta dan data dari
internet dan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
Guru Sebagai Motivator, guru
hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar.
A. Peran
Guru dalam Proses Pendidikan
Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada
peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian
pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan
sebagai :
1.
Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma
kedewasaan;
2.
Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3.
Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4.
Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui
penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan
sasaran didik;
5.
Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan
menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang
menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin
dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam
proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1.
Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa
yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2.
Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan
situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar
mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource
person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik &
humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3.
Guru sebagai penilai (evaluator)
yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran,
berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin
Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher
counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik
yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa,
dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya
(remedial teaching). Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang
peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan
sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil
pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik.
Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family
educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina
masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator),
dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan
aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self
oriented), dan dari sudut pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan
aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1.
Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2.
Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara
dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3.
Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus
diajarkannya;
4.
Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik
melaksanakan disiplin;
5.
Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar
pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6.
Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan
perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa
depan; dan
7.
Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan
berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari
segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1.
Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus
memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2.
Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara
terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3.
Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap
peserta didik di sekolah;
4.
model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus
dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
5.
Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan
akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut
pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
1.
Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami
psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik;
2.
seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations),
artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan
antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai
tujuan pendidikan;
3.
Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk
menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4.
Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu
menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
5.
Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru
bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002)
mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan
keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating
learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait
langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak
tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan
sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk
setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan
belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan
belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan
profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan
proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi
satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi
dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di
jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai
di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang
demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia
akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu
berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan
ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru
masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas
pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan
guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah
efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya.
Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru
untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan
dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang
berlangsung.
13 peranan guru sebagai pendidik Sebagai
Berikut :
1.
Guru Sebagai Korektor, guru harus dapat
membedakan nilai yang baik dan man nilai yang buruk.Semua nilai yang baik harus
guru pertahankan dan nilai yang buruk harus disingkirkan dari watak dan jiwa
anak didik.
2.
Guru Sebagai Inspirator, guru harus dapat
memberikan ilham yang baik bagi kemajuan anak didik. Guru harus dapat memberi
petunjuk (ilham) bagaimana cara belajar yang baik.
3.
Guru Sebagai Informator, guru harus dapat
memberikan informasi perkembangan ilmu penetahuan dan teknologi, selain bahan
pelajarn untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum.
4.
Guru Sebagai Organisator, guru memiliki
kegiatan pengelolaan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender
akademik, dan sebagainya.
5.
Guru Sebagai Motivator, guru hendaknya dapat
mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Peran ini sangat penting
dalam interaksi edukatif.
6.
Guru Sebagai Inisiator, guru harus dapat
menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran. Bukan
mengikuti terus tanpa mencetuskan ide-ide inovasi.
7.
Guru Sebagai Fasilitator, guru hendaknya dapat
menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegitan belajar anak didik,
menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
8.
Guru Sebagai Pembimbing, guru membimbing anak
menjadi manusia dewasa susila yang cakap dan mandiri.
9.
Guru Sebagai Demonstrator, mempergakan apa
yang diajarkan secara diktatis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan
pemahaman anak didik, tujuan pengajaran tercapai dengan efektif dan efisien.
10. Guru Sebagai Pengelola Kelas, agar anak didik betah tinggal di kelas
dengan motivasi yang tinggi untuk senantiasa belajar di dalamnya.
11. Guru Sebagai Mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang media pendidikan baik jenis dan bentuknya, baik media material maupun
nonmaterial.
12. Guru Sebagai Supervisor, guru dapat membantu, memperbaiki, dan menilai
secara kritis terhadap proses pengajaran.
13. Guru Sebagai Evaluator, guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator
yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyngkut intrinsik
maupun ekstrinsik. Guru tidak hanya menilai produk, tetapi juga menilai proses.
Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak
diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya
dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna
pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di
Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan
formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan
interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai
fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam
kegiatan proses pembelajaran.
Peran guru sebagai fasilitator
Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan
pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke
hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru
seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat
komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh
Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan
sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala
sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan antara guru
dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan
suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar guru
dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator sebaiknya guru dapat memenuhi
prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu
bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
1.
Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas
pembelajaran
2.
Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
3.
Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan
dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
4.
Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan
pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
5.
Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan
siswa.
Di samping itu,
guru sebaiknya dapat memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang akan
menentukan keberhasilan belajar siswa, diantaranya:
- Setiap siswa memiliki pengalaman dan potensi belajar yang berbeda-beda.
- Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
- Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
- Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.
- Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
- Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
- Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment).
Selain dapat memenuhi
prinsip-prinsip belajar dan memperhatikan karakteristik individual, juga guru
dapat memperhatikan asas-asas pembelajaran sebagai berikut:
1.
Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan
diperlakukan sebagai mitra kerjanya
2.
Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan
pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
3.
Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok
dan kolaboratif.
4.
Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan
tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang
dilaksanakannya.
5.
Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting)
secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
6.
Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan
dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa
pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
7.
Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling
sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally
specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.
Pada bagian lain, Wina Senjaya
(2008) mengemukakan bahwa agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai
fasilitator, maka guru perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan
pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa
untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan
sumber dan media belajar yang cocok dan beragam dalam setiap kegiatan
pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar
bagi para siswanya. Terkait dengan sikap dan perilaku guru sebagai fasilitator,
di bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru untuk dapat
menjadi seorang fasilitator yang sukses:
1.
Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku
utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan
agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa
bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
2.
Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar
yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses
yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan
guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3.
Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan
menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4.
Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan
siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5.
Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan
agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6.
Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya
dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal
realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam
berhubungan dengan guru.
7.
Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian,
dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri
sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman
dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8.
Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana
yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan
kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap
menghargainya.
9.
Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali
terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral
dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda
pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap
terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan
kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus
terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua
orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap
positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan
menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan
keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah
kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan.
B. Sosok Guru Abad 21; Sebuah Harapan Dan Kenyataan
Hari Pendidikan Nasional
diperingati setiap tanggal 2 Mei, dari sisi historis peringatan ini berlatar
belakang sebuah penghargaan terhadap jasa seseorang yang telah mengabdikan diri
di dunia pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantoro. Dalam konteks kekinian,
guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem
pendidikan, namun pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan
dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang
menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan/sekolah
yang lebih baik.
Pesatnya persaingan pendidikan
di tataran global, semua pihak perlu menyamakan sikap untuk mengedepankan
peningkatan mutu pendidikan.“Today’s students are tomorrow’s Leaders”. Siapkah
Anda menjadi guru yang mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan?
Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi
muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan
menguasai megaskills yang mantap
1.
Sosok Guru Abad 21
Guru
abad 21 harus menguasai banyak pengetahuan (akademik, pedagogik, sosial dan
budaya), mampu berpikir kritis, tanggap terhadap setiap perubahan, dan mampu
menyelesaikan masalah. Guru tidak boleh hanya datang ke sekolah melulu untuk
mengajar saja. Kemampuan untuk mengelola kelas saja tidak cukup lagi. Guru
diharapkan bisa menjadi pemimpin dan agen perubahan, yang mampu mempersiapkan
anak didik untuk siap menghadapi tantangan global di luar sekolah. Selain orang
tua peran guru dalam mengarahkan masa depan anak didiknya sangat signifikan.
Bisa dibayangkan apa jadinya kalau guru tidak siap menghadapi semua tantangan
dinamika pendidikan abad 21 ini, yang nota-bene masih terus akan berubah.
Dalam
konteks guru profesional dengan semangat tinggi, ia akan selalu memiliki
inisiatif, gigih, tidak putus asah dan tidak gampang menyerah. Sebaliknya, ia
akan jarang mengeluh. Dan hatinya akan senantiasa berbunga kata “There are two
kinds of days:good days and great days” atau hanya ada dua macam hari: hari
baik dan hari sangat baik. Guru dalam dimensi kekinian digambarkan sebagai
sosok manusia yang berakhlak mulia, arif, bijaksana, berkepribadian stabil,
mantap, disiplin, santun, jujur, obyektif, bertanggung jawab, menarik, mantap,
empatik, berwibawa, dan patut diteladani. Dengan sosok kekiniannya, seorang
guru harus manjadi manusia yang dinamis dan berfikir ke depan(futuristic)
dengan tanda-tanda dimilikinya sifat informatif, modern, bersemangat, dan
komitmen untuk pengembangan individu maupun bersama-sama. Dan yang tak kalah penting, guru diharuskan mampu
menguasai IT, atau setidak-tidaknya mampu mengoperasionalkan.
Guru diharapkan benar-benar mampu mengajak
siswanya siap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai guru profesional juga
wajib tumbuh dalam dirinya jiwa semangat dan sebagai penyemangat. Untuk yang
satu ini, hal mendasar yang harus dimiliki guru adalah kekayaan pengetahuan dan
kompetensi materi yang akan diajarkan. Tanpa itu, mustahil guru akan dapat
mengajar dengan baik, lugas dan lancar. Keminiman penguasaan materi dan wawasan
pendukungnya akan mengurung guru pada keminderan dan bahkan merasa takut
berhadapan dengan siswa. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya
manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara
efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar,
pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian
diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya
adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme
dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan
disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin,
wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin..
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad
21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi
pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2)
dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari
citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan
kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik)
ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan
buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari
penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari
konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan
pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai
tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
2.
Realitas
di lapangan
Kemerosotan pendidikan kita sudah
terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding
sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum
mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004
(KBK) kemudian diganti lagi dengan kurikulum 2006 (KTSP) . Nasanius (1998)
mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum
tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar
siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan
tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang
meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan
sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi,
1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya
dalam hal bidang keilmuannya.
Memang jumlah tenaga pendidik secara
kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan
harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang
keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan
pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000). Banyak faktor yang
menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah
berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar
profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia
pendidikan.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan
profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus
menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi
petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam
tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi
itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi
instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi
sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan
membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Padahal, seorang guru yang
telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah
menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan
dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat RPP maka waktu dan energi guru
banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya.
Akadum
(1999) menyatakan dunia
guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang
pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama
pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena
rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2)
profesionalisme guru masih rendah. Selain faktor di atas faktor lain yang
menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1)
masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini
disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk
meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru
sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh
adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi
tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak
guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi
guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti
sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Jurnal
Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional
seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada
siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata
pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
(4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar
dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru
ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang
profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan
berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan
peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara
berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang
tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi
perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru
di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru
yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa
pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai
orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu
suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai
fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent,
inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin
2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi
perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan
informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk
sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah
membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai
tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan
peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual,
sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan
saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan,
melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu
maupun sebagai profesional.Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai
salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan
peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad
pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan
bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan
oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan
keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih
merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan
hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan. Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya
yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan
ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha
meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK
sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau
yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Daftar
Pustaka
- Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Anem Kosong Anem
- Makmun, Syamsudin Abin. 1999. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya
- Prof. DR. Nana Sudjana, 2004, Proses Belajar Mengajar, Bandung: CV Algesindo
- Sidi, Djati Indra. 2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : Paramadina
- Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
- Tirtarahardja, Umar. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Cemerlang
- Maret 2001. Tangerang: Universitas Terbuka.
Guru sebagai Fasilitator
Fasilitator merupakan istilah yang semula lebih
banyak dipakai pada pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam
lingkungan pendidikan non-formal seperti Outwardbound
Training. Namun, seiring dengan perubahan makna pengajaran yang
lebih menekankan kepada aktivitas siswa, belakangan—di Indonesia—istilah ini
(fasilitator) mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah,
yaitu yang berhubungan dengan peranan seorang guru pada saat berinteraksi dalam
proses belajar-mengajar.Seperti yang dikemukakan oleh Wina Senjaya (2008) “Sebagai fasilitator, seorang guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran.“
Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan antara siswa-guru yang semula lebih bersifat “Top-Down” menjadi hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “Top-Down“, guru seringkali berposisi sebagai “Atasan” yang memiliki kecenderungan bersifat otoriter, sarat dengan komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, seperti yang disinyalir oleh Y. B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa berposisi sebagai “Bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh sang guru.
Berbeda dengan pola hubungan “Top-Down“, hubungan kemitraan antara guru dan siswa—guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh sebab itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator, seyogyanya guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yakni bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
- Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran.
- Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
- Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
- Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
- Terbinanya rasa saling pengertian, baik antara guru dengan siswa — maupun antara siswa dengan siswa.
Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Kanisius
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta.
Peran Guru sebagai Motivator
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari
pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran
yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses
pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran
guru sebagai motivator.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa
mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan
motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru
dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk
perilaku belajar siswa yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan
pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di
bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka
meningkatkan motivasi belajar siswa
- Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
- Membangkitkan minat siswa.
- Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
- Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
- Berikan penilaian.
- Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
- Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan
motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan
dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman,
teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun,
teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu.
Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam
itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan
cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif
dihindari.
Sumber:
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.